expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Senin, 02 Agustus 2010

REFLEKSI GERAKAN MAHASISWA SETELAH 12 TAHUN REFORMASI

By Harris Kristiawan (Admin FMHI)

SK Mendikbud 1978 yang melarang kegiatan politik dikampus serta
dikeluarkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang kegiatan politik mahasiswa
terpasung oleh peraturan tersebut. Implikais dikeluarkanya peraturan
tersebut yaitu dibekukan senat mahasiswa. Tugas mahasiswa hanya
difokuskan pada aktifitas keilmuan. Peraturan yang diserta sanksi
tersebut membuat kegiatan dan dinamika kehidupan kampus menjadi
terpasung. Jika berbicara tentang politik didalam ruang kuliah, meraka
menjadi khawatir ditangkap oleh aparat intel.

Tetapi dalam perkembangannya, defenisi politik praktis itu menjadi
semu dan tidak jelas batasnya. Menurut Prof. Dr. Retmono, politik
sebagai sebuah representasi dan mewakili aspirasi rakyat tidak salah
jika juga digelorakan oleh warga kampus
Politik kampus mengusung dua misi, pertama gerakan moral sebagai
patron gerakan moral dan gerakan politik sebagai pengejewantahan.
Gerakan moral adalah gerakan politik mahasiswa diluar mainstream elit
politik dimana mereka akan menyuarakan sesuatu yang tidak benar dan
tidak perlu menunggu order dari elit politik. Sedangkan gerakan
politik dimaknai sebagai sebuah upaya untuk mengarahkan pada kekuatan
yang baik.

Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka
dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk
melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang
memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas
untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua,
sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan,
mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di
antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup
unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka.
Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas
susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan
tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di
kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam
pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat,
memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke
jenjang karier.

Seiring berjalannya waktu, mahasiswa tak jarang mengisi waktu dengan
mendirikan komunitas-komunitas kecil dan kelompok-kelompok studi
dikampus. Banyak pula yang bergabung dengan LSM-LSM tertentu. Gerakan
bawah tanah semakin menemukan bentuk menjelang tahun 1997 yang
ditandai dengan semakin seringnya mahasiswa melakukan demontrasi dan
puncaknya adalah pendudukan gedung MPR/DPR pada mei 1998.

Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan
diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin
memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto
mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi
mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi
masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah
keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung
oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air,
gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya,
gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan,
terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru
mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian,
tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah
mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya berperan sangat sentral
dalam menggulingkan rejim Orde Baru.

Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam
menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru
menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap
anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada
1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta
merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat.
Setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut
penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, dan kini Susilo Bambang Yudoyono perubahan yang sejak
awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Disisi
lain perlu kita akui juga bahwa penegakan hukum sudah ada mulai
terlihat perubahan yang nyata terutama dalam memberantas korupsi, hal
ini dapat kita lihat dengan tindakan yang dilakukan oleh KPK dengan
menindak para pelaku korupsi dari kalangan anggota DPR dan tindak
korupsi lainnya. Walaupun masih ada agenda reformasi yang belum
tuntas, maka sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus
dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum
berjalan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka
akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada
pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat
kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak
jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan
dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara
keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam
alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga
pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan
beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman
NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat
euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan
momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.

Walaupun demikian, gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum
perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi
boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak
boleh redup

BELAJAR DARI TUKIJAN ( SEBUAH PERUMPAMAAN ) DALAM REALITAS

Tukijan seorang mahasiswa semester 1, berpenampilan sederhana, suka
berorganisasi semasa SLTA, sangat kritis terhadap kebijakan dosen yang
tidak disiplin di kampus tempat ia menimba ilmu.


Waktu perkuliahan dimulai, sekitar pukul 09.30 wib, dosen membuka
salam didepan kelas, selesai dosen membuka salam, Tukijan angkat
tangan dan mengatakan pada dosenya, Maaf buk, seperti komitmen kita
diawal perkuliahan, waktu ibuk memperkenalkan diri dan membuat aturan,
bahwa 10 menit mahasiswa terlambat masuk kelas dari jadwal yang telah
tertera di silabus, maka mahasiswa yang bersangkutan tidak dibenarkan
mengikuti perkuliahan dan 3 kali mahasiswa tersebut tidak mengkikuti
perkuliahan dengan mata kuliah yang sama, maka mahasiswa tersebut
tidak dibolehkan mengikuti ujian, meskipun itu kebijakan sepihak,
karena ibu memiliki otoritas sebagai dosen, maka kebijakan itu wajib
kami terima.

Apa yang kami dapatkan sekarang, ibuk terlambat datang 1 jam tanpa
keterangan dan kami sudah gelisah menunggu, sehingga muncul
pertanyaan, Apakah aturan itu bisa diberlakukan pula sama ibuk? kami
minta diganti dengan dosen yang lain untuk mata perkuliahan ini,
sebagai sanksi dari pelanggaran ketidak disiplinan ibuk. Sebagai
dosen, ibuk adalah role model bagi kami, ibuk seharusnya memberikan
teladan yang baik dikampus ini.

Mohon maaf buk, bangsa kita ini tertinggal oleh jepang, cina dan
singapura, karena tidak menghargai waktu dan pemimpin kita tidak
komitmen dengan kebijakan yang telah mereka buat. Jika ibuk seorang
intelektual yang bijaksana, maka ibuk tidak akan marah mendengar
kritikan saya, tetapi ibuk akan mengoreksi diri tentang aturan main
yang telah ibuk buat.

Kasus diatas, hanya segelintir tentang bentuk ketidak disiplinan yang
ada dilingkungan kampus, tempat calon intelektual dicetak. Menyimak
apa yang terjadi dinegara ini, mencerminkan keamburadulan sistem yang
dimulai dari lapisan dunia pendidikan. Mahasiswa sebagai penerus
generasi bangsa, secara tidak langsung telah terpapar dengan ketidak
disiplinan dari pendidik mereka.

Implikasi dari ketidak disiplinan seorang dosen terhadap waktu, telah
memberikan pembelajaran negatif kepada mahasiswanya, ketika mahasiswa
tersebut telah bekerja atau berada dilingkungan masyarakat maka tidak
akan risih atau merasa bersalah dengan keterlambatan datang saat
rapat, lambat datang saat bekerja dan lambat datang saat pertemuan
dengan jadwal yang telah disepakati, sebab dibenak mereka janji dan
komitmen hanya sebatas wacana yang tidak perlu ditanggapi serius.

Sebagai penerus cita-cita pejuang bangsa yang telah gugur, maka
mahasiswa jangan hanya diam atas ketidak disiplinan, aturan buat
disepakati bersama, bukan hanya berlaku pada kaum yang tertindas dan
lemah, tetapi untuk semua yang tercakup dalam kebijakan tersebut. Kita
memiliki azas demokrasi, bebas mengemukakan pendapat, untuk itu
tanamkanlah sikap kritis seperti Tukijan demi perubahan yang lebih
baik dimasa yang akan datang.

GERAKAN MAHASISWA DALAM MANUVER BORJUISME

By Harris Kristiawan (Admin FMHI)

Melenyapkan kejahatan adalah awal dari kebajikan, dan menyingkirkan
kebodohan adalah awal dari kebijaksanaan. (Gerard M Hopkins)

Mencermati perjalanan reformasi seiring dengan proses transformasi
kepemimpinan nasional, ada beberapa hal yang patut disimak. Berbagai
hal kegiatan yang berbau politik muncul dipermukaan, dari yang serius
bahkan sampai yang bersifat dagelan muncul tanpa ada rem cakram
pencegahnya alias blong.

Perubahan dan guliran konstelasi politik sedemikian cepat meninggalkan
stasiun per stasiun, di mulai sidang umum dengan terpilihnya presiden
baru Gus Dur sampai kemudian mengalami eskalasi kepada
terselenggaranya Sidang tahunan MPR. Reformasi total yang dulu
digembar-gemborkan oleh mahasiswa dan bahkan telah sempat untuk
membangunkan kesadaran rakyat pada kesadaran riil kini mulai mengalami
pembiasan.

Masih bertenggernya Golkar di puncak kekuasaan dengan “paradigma baru”
sebagai iklan pariwara utamanya, semakin mengukuhkan pendapat
bahwasanya reformasi yang ada sekarang adalah reformasi milik
kekuasaan dan kata yang sempat sangar sampai bikin antek ORBA merasa
kiamat kini telah berganti menjadi “Repotnasi”.

Keadaan makin diperparah dengan munculnya badut-badut reformasi yang
dengan congkaknya mengaku bapak reformasi tapi perilaku politiknya
jauh melenceng dari cita-cita reformasi yang sebenarnya. Sidang
tahunan yang digelar MPR pun pada akhirnya tak lebih menghasilkan
putusan-putusan yang sangat tidak substansional, sehingga muncullah
istilah Sidang Tahunan MPR tak lebih sebagai politik dagang sapi atau
bahasa kerennya disebut koe-handel.

Sidang Tahunan inipun justru makin memperparah kondisi politik
nasional, bukannya mendapatkan solusi yang lebih tepat untuk jalan
keluar bangsa inidari krisis multi dimensional tapi ternyata malah
menambah masalah baru. Terbukti dengan munculnya desakan dari salah
satu fraksi yang menginginkan dimasukannya 7 (tujuh) kalimat dari
piagam Jakarta, ditundanya penghapusan keberadaan TNI/POLRI di “gedung
terhormat” sampai tahun 2009. Ini menandakan bahwasanya elit politik
negeri ini belum siap untuk menuju Indonesia Baru atau lebih tepatnya
masih senang berkubang dengan Indonesia keparat.

Permainan ketoprak humor para politisi ini mulai membingungkan rakyat
bahkan cenderung membawa rakyat kepada keputusasaan sosial. Ekonomi
yang morat-marit makin membawa rakyat menuju kearah ketidakpecayaan
mereka terhadap perjalanan reformasi.

Gerakan-gerakan rakyat terutama yang dilakukan mahasiswapun
seakan-akan mulai mengalami frustasi politik. Gerakan mahasiswa yang
pada masa 1998 dalam upaya penggulingan diktaktor Soeharto begitu
hebatnya perlahan mulai menyurut seiring dengan tekanan dan strategi
elit politik yang makin hari makin melakukan tingtank ala petinju ”
job and run”.

Hanya beberapa kota dan organ gerakan prodemokrasi yang masih menjaga
stamina perlawanan. Gerakan aksi massa yang dulu sangat masif kini
makin menyusut, dan ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan
konstalasi politik Indonesia.

Efouria reformasi yang melingkupi ruang pemikiran rakyat ternyata
berimbas besar terhadap perkembangan proses perlawanan ini. Di satu
pihak bernilai positif, dimana rakyat mulai berani mengungkapkan
realita ketertindasan namun di pihak lain justru membuka ruang konflik
horisontal yang sangat besar.

Persoalan ini menjadi dilema yang seakan-akan sulit terpecahkan.
Demikian juga dengan gerakan pro demokrasi, sangat sulit untuk
melepaskan diri dari beban mental proses reformasi ini.

Munculnya kekuatan-kekuatan fundamentalis makin menampakan kesangaran
dari sebuah bias reformasi, entah dengan sebuah kepentingan murni
ataukah karena hanya karena kepentingan kelompoknya atau mungkin ini
adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari strategi kekuatan pro
status quo dalam upaya pengalihan tuntutan reformasi yang sejati.

Kejadian dalam beberapa waktu yang lalu termasuk berbagai aksi teror
dan kekerasan adalah wujud dari sebuah masa peralihan dimana antara
kekuatan “pelestari” kekuasaan berimbang bahkan cenderung melebihi
kekuatan pembaharu,dan terbukti sangat efektif sekali untuk
mengendapkan tuntutan real refomasi.

Bisa dilihat bahwa tuntutan bubarkan GOLKAR, cabut dwi fungsi
TNI/POLRI, pengadilan dan nasionalisasi aset-aset kekayaan Soeharto
dan kroni-kroninya , pendidikan murah dan lain-lain menjadi terlupakan
dan tertutupi oleh isu-isu teror dan kekerasan.

Semua peristiwa yang ada menjadikan daya gerak dan daya dobrak kaum
pergerakan menjadi makin keblinger.

MAU KEMANA GERAKAN MAHASISWA?

Pertanyaan yang sekiranya adalah pertanyaan yang tidak terlalu
membutuhkan jawaban teoritis namun justru membutuhkan kerja praktis
dan kongkrit.

Posisi dilematis yang dihadapi oleh kalangan gerakan pro demokasi
terutama oleh gerakan mahasiswa memang sedang dalam keadaan yang
menyedihkan. Perubahan konstalasi politik yang berjalan hampir setiap
sepersekian detik, sangat mempengaruhi kajian dan analisa dari gerakan
mahasiswa dan secara tidak langsung hal ini sangat mempengaruhi
kinerja dari gerakan mahasiswa.

Keinginan untuk secepatnya mewujudkan tujuan reformasi yaitu Indonesia
baru seakan-akan menjadi bumerang dalam proses gerak juangnya,
ketidaksiapan rakyat Indonesia menghadapi revolusi adalah menjadi
kendala utama gerakan mahasiswa untuk menuntaskan reformasi total ini.

Terjepitnya perekonomian rakyat malah justru menjadikan mereka mulai
merindukan masa-masa “keindahan” ORBA, dan ini yang sebenarnya harus
diwaspadai oleh seluruh elemen gerakan pro demokrasi apalagi sekarang
negara ini sedang ada dibawah rezim populis yang mau tidak mau harus
membuat gerakan pro demokrasi terutama gerakan mahasiswa untuk mulai
berhati-hati dalam memainkan strategi taktis aksi.

Terus, apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa di tengah
kancah permainan dan manuver borjuasi nasional ini?

1. KEMBALI KE SEKTOR RAKYAT

Tentunya akan ada pertanyaan lanjutan dari pernyataan ini. Diakui atau
tidak bahwasanya rakyatlah yang paling berperan dalam proses perubahan
bangsa ini, gerakan untuk kembali ke rakyat harus dimulai dalam upaya
untuk membangun kesadaran politik di kalangan msyarakat bawah.

“Tidak akan pernah ada revolusi yang berhasil tanpa disertai oleh
massa yang sadar” (Soekarno), pernyataan dari mantan revolusioner ini
seharus dicamkan oleh kalangan gerakan mahasiswa jika ingin mewujudkan
perubahan yang sejati.

Penyadaran itu dapat dimulai dengan mengadakan
pendampingan-pendampingan pada daerah berkasus, dan ini sangat
signifikan untuk dilakukan karena pada dasarnya jiwa perlawanan ada
pada manusia yang mengalami penindasan secara langsung.

Namun perlu ditegaskan disini, pendampingan sekaligus penyadaran
politik bukan berarti datang dan terus menjadi malaikat. Kesadaran
yang dibangun bukan dengan memberikan pendidikan sistematis ataupun
pendidian gaya bank, dimana masyarakat hanya menerima dan dijejali
dengan teori tertentu sebagai upaya penyadaran hak sebagai warga
negara, namun yang lebih mendasar adalah memberikan penyadaran tentang
hak mereka dan selanjutnya menempatkan masyarakat ini sebagai subyek
dari proses pendidikan ini.

Pendidikan ini dikatakan berhasil apabila masyarakat sudah bisa
melepaskan diri dari sikap fatalismenya dan mempunyai mobilitas yang
tinggi serta secara aktif terlibat dalam sistem politik.

Penumbuhan kesadaran ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya
bahaya laten kerinduan terhadap Orde Baru. Pada akhirnya pendidikan
ini berupaya untuk membuat rakyat memiliki Goldman, “kesadaran riil
melalui kesadaran yang sangat memungkinkan (real consciuosness through
maximal possibble consciuosness, Paulo Freire) yang merupakan inti dan
dasar dari sebuah revolusi.

2. “KEMBALI” KE KAMPUS

Bukan berarti bahwa gerakan kembali ke kampus disini sama dengan
gerakan NKK/BKK, tapi harus ada penilaian dan sebuah refleksi yang
sangat obyektif dalam memandang arah dan pola gerakan mahasiswa.
Berkaca dari gerakan mahasiswa di daratan Eropa dan Amerika Latin
tahun 60-an, dimana sebagian besar gerakan rakyat tumbuh dari
akumulasi gerakan / gejolak didalam kampus. Ini seharusnya menjadi
acuan yang sangat mendasar bagi pola gerakan di negara ketiga
khususnya Indonesia.

“Kembali” ke kampus bukan berarti mahasiswa untuk seterusnya menjadi
kutu buku, namun gerakan ini harus mulai membangun kekuatan untuk
sebuah revolusi pendidikan. Mau tidak mau harus diakui bahwa
menyurutnya gerakan mahasiswa juga akibat dari sistem pendidikan
Indonesia yang sangat menindas.

Keputusan “laknat” Daoed Joesoef dengan SK NKK/BKK nya mepunyai
implikasi yang sangat besar bagi perkembangan gerakan mahasiswa.
Pemandulan mahasiswa dengan sistem SKS, DO, absensi 75 persen terbukti
efektif, sehingga sampai sekarang mahasiswa seakan-akan telah
kehilangan “sense of sosial” nya dan hak politiknya.

Kondisi ini yang sekarang harus mulai di dobrak oleh kalangan pro
demokrasi, dan ini telah dilakukan oleh sebagian besar kampus di
Indonesia, namun semua ini barulah pada tahapan permukaan belum pada
tataran yang lebih substansional.

Penyadaran tentang hak politik mahasiswa dan pemahaman tentang
penindasan negara melalui sistem pendidikan harus mulai diinjeksikan
kepada kalangan grass root mahasiswa sebagai upaya membangun kekuatan
dan konsolidasi menghadapi manuver kaum borjuasi nasional. Sehingga
dalam kurun beberapa waktu maka tidak lagi hanya ada segelintir
aktifis mahasiswa tetapi akan tumbuh ratusan bahkan ribuan mahasiswa
yang siap untuk revolusi.

Dua hal ini sekiranya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa
ditengah permainan elit politik sekarang ini. Dengan mempertimbangkan
situasi nasional dan psikologis rakyat yang sudah mulai jenuh dengan
perjalanan reformasi total yang belum tuntas, sudah seharusnya gerakan
mahasiswa mengubah pola gerak yang ada, namun tetap harus disesuaikan
dengan kondisi tiap daerah tertentu.

Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar dibatasi oleh lautan
tidak memungkinkan melakukan gerakan seperti mahasiswa di belahan
Amerika Latin dan Eropa dengan pola bola saljunya.

Tapi keterbangunan common enemy dikalangan gerakan mahasiswa terutama
di kalangan gerakan mahasiswa yang radikal sudah semestinya dilakukan
untuk sebuah gerakan yang masif. Dengan melakukan penyadaran di kedua
sektor ini maka suatu saat dalam sebuah momentum politik yang tepat,
maka diyakini akan timbul sebuah perlawanan dari rakyat yang sadar.

Dan pola ini bukan berarti meninggalkan tuntutan reformasi tetapi
justru menjadi entry point yang sangat kuat untuk melangkah kepada
tuntutan itu dengan meminimalisir ketakutan rakyat akibat kesadaran
politik yang semu dari negara .

Membangun kekuatan dan mengantisipasi kerinduan terhadap Soeharto
hanyalah bisa dilakukan dengan pendidikan secara langsung, dimana
rakyat melakukan perlawanan bukan atas dasar ajakan tetapi lebih
karena sadar akan adanya ketertindasan. Educacao como practica da
liberdade (Paulo Freire), pendidikan adalah sebagai praktik pembebasan
keyakinan akan massa yang sadar dan keyakinan akan sebuah pendidikan
pembebasan, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa tidak ragu-ragu
lagi dengan gerakan penyadaran dan pengorganisiran massa.

Minggu, 25 Juli 2010

Pergerakan Mahasiswa : Mahasiswa vs Dirinya Sendiri


Teriakan berantas kebodohan, menggelikan ketika keluar dari mulut mahasiswa bodoh! Mahasiswa pemalas yang tidak bebas dari penyakit finansial, absurd ketika berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan! Mahasiswa koruptor jam kuliah, tidak pantas berteriak anti-korupsi!

Adalah tiga kalimat pembuka dari diskusi yang saya sampaikan, ketika diminta mengisi acara halal bihalal KAMMI Pusat, sekaligus launching KAMMI Online di Senayan, Jakarta, pada hari Sabtu, 18 Oktober 2008. Kebetulan acara ini juga dihadiri pengurus berbagai organisasi mahasiswa lain. Jadi saya gunakan kesempatan ini untuk melakukan diskusi, kritik dan sekaligus membuka wacana teman-teman mahasiswa aktifis organisasi pergerakan mahasiswa bahwa era sudah berubah.

Perlu kita pahami bersama bahwa masyarakat sudah sangat resistence dengan teriakan-teriakan idealis tanpa pelaksanaan yang sering mahasiswa lakukan. Rakyat perlu teladan, rakyat perlu studi kasus, rakyat perlu success story, dan rakyat perlu know-how yang kita milikia. Dengan memanfaatkan berbagai solusi praktis dan nyata yang kita dapatkan dari bangku kuliah maupun pengalaman lapangan, diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang semakin menumpuk. Pergerakan mahasiswa di era dunia datar harus lebih cerdas, lebih efektif, sehingga energi dan biaya yang kita miliki tidak mubadzir dan bisa dialokasikan untuk berbagai kegiatan lain yang lebih bermanfaat. Teknologi informasi khususnya Internet dengan jumlah pengguna yang semakin besar di Indonesia bisa menjadi satu alternatif teknologi pendukung pergerakan mahasiswa.

Saya sebenarnya tidak berbicara muluk-muluk, tapi hanya sharing pengalaman, bagaimana kehidupan saya semasa menjadi aktifis mahasiswa. Saya sempat meniti karir di kepengurusan Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang) dari level komisariat, komda, sampai menjadi ketua umum PPI Jepang tahun 2001-2003. Di sisi lain, saya juga bergerak di sisi keilmuwan dengan menjadi ketua umum asosiasi ilmiah yang dibuat mahasiswa Indonesia bernama IECI di tahun yang sama. Selain bergerak di darat, era dunia datar membuat saya juga harus bergerak di dunia maya, menciptakan usaha kreatif, menjalin kerjasama dengan organisasi lain, membangun komunitas maya, melakukan image branding, maupun mempengaruhi orang lain lewat tulisan di blog. Semua tetap saya lakukan dengan tetap menjaga prestasi akademik, karena tugas utama mahasiswa adalah belajar dan prestasi akademik adalah salah satu alat ukur keberhasilan mahasiswa dalam belajar.

Materi diskusi saya bagi menjadi dua topik utama.

Modal dan strategi dasar seperti apa yang harus dimiliki mahasiswa pergerakan. Modal dasar ini penting, karena membuat teriakan kita, demo-demo kita, kritikan kita terasa bermakna alias tidak hampa
Apa yang harus dipersiapkan mahasiswa menyambut era dunia datar. Internet adalah media yang sangat efisien dan efektif untuk mendukung pergerakan mahasiswa. Terkadang web-based influence tactics bisa lebih efektif dan efisien daripada teriakan mahasiswa di jalan yang kadang memacetkan ruas-ruas jalan jakarta yang sudah macet. Meskipun tentu saja pada timing yang lain, turun jalan juga adalah alternatif strategi yang harus kita tempuh.

PERGERAKAN MAHASISWA

Modal dan strategi dasar yang harus dimiliki mahasiswa yang merasa menjadi aktifis pergerakan saya gambarkan di bawah.




Jaga prestasi akademik,
Tugas utama mahasiswa adalah belajar, karena kedudukan di kampus membawa implikasi bahwa mahasiswa adalah seorang akademisi, pemikir, bergerak secara logis dan terukur. Kualitas intelektual kita terukur lewat nilai-nilai dari mata kuliah yang kita ikuti. Ingat bahwa teriakan berantas kebodohan, menggelikan ketika keluar dari mulut mahasiswa bodoh!
Madzab,
pemikiran dan strategi pergerakan mahasiswa juga harus dikuasai. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca sejarah pergerakan mahasiswa di berbagai negara lain, membaca biografi tokoh pergerakan mahasiswa dimanapun berada, dan tentu saja yang sangat urgent adalah sejarah dan benang merah pergerakan mahasiswa di Indonesia. Jangan sampai mahasiswa mengulang kesalahan yang dilakukan mahasiswa di era sebelumnya.
Benih-benih entrepreneurship harus dipupuk sejak masa mahasiswa
Mahasiswa harus berusaha mengatasi masalah finansial, karena kita harus memberikan teladan dan success story kepada masyarakat berhubungan dengan kemandirian finansial. Ingat, mahasiswa pemalas yang tidak bebas dari penyakit finansial, absurd ketika berteriak bebaskan rakyat dari kemiskinan. Kemandirian organisasi dan personelnya dari “sumbangan” pihak lain yang punya kepentingan, membuat independensi organisasi mahasiswa terjaga. Membuat teriakan kita tetap lantang kepada siapapun tanpa pandang bulu.

Konsistensi perdjoeangan adalah kekuatan karakter aktifis mahasiswa.
Pahami hakekat dari kritik-kritik yang kita lakukan. Logikanya mahasiswa koruptor jam kuliah, tidak pantas berteriak anti-korupsi. Think globally, but act locally.
Public speaking dan leadership, faktor penting dalam mempengaruhi orang, karena tidak mungkin mahasiswa dengan leadership dan public speaking yang buruk mengkritik kepemimpinan nasional.
Opini lewat tulisan adalah faktor penting dalam teknik mempengaruhi ala mahasiswa. Kualitas pikir seseorang diukur dari kualitas tulisan yang dihasilkan. Pergerakan mahasiswa tak akan lepas dari masalah intelektualitas, daya pikir, daya kreatif dan perilaku berbasis otak yang lain.

PERGERAKAN MAHASISWA 2.0

Modal pergerakan mahasiswa diatas harus dikuasai, karena itu adalah modal minimal. Meskipun itu semua tidak cukup ketika kita bergerak di era dunia datar dengan perkembangan internet dan web yang semakin pesat yang saat ini menuju ke generasi kedua (Web 2.0).

Barrack Obama tidak hanya mengandalkan tim suksesnya secara penuh ketika mengupload video pidato dan kampanye lewat YouTube, tapi sebagian diupload oleh para pemilihnya dengan sukarela. Inilah keindahan user-generated content. Influence tactics ala Web 2.0 ini saya yakin bisa dimanfaatkan oleh aktifis pergerakan mahasiswa, sehingga berbagai opini yang kita keluarkan akan lebih bergema, lebih luas dipahami masyarakat, dan wacana ini akan banyak dinikmati mahasiswa lain karena mahasiswa adalah pengakses Internet di Indonesia yang terbesar. Ingat menurut InternetWorldStats.com pengguna Internet di Indonesia mencapai 20 juta, dan menurut APJII bahkan 28 juta. Pengguna Internet di Indonesia bahkan lebih banyak daripada Spanyol atau negara tetangga kita yang ada di Asia. Tidak ada oplah media massa di Indonesia yang melebih angka 20 atau 28 juta, kecuali TV tentunya yang menurut berbagai data mencapai angka 40 juta.

Kalau boleh saya gambarkan, pergerakan mahasiswa generasi kedua alias 2.0 saya pikir akan seperti gambar di bawah.



Tebar Keshalehan Sosial dan Kreatifitas Maya.
Ini adalah sumbangan besar mahasiswa plus sebagai solusi nyata untuk masyarakat. Efek langsungnya mungkin ke pengguna Internet, tapi efek tidak langsungnya bisa ke masyarakat yang bahkan tidak mengenal Internet. Misalnya, download materi IlmuKomputer.Com mungkin hanya bisa dilakukan oleh pengguna Internet. Tapi ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh dosen dan guru untuk mengajar anak didik yang berada di berbagai pelosok tanak air.
Lakukan Image Branding Lewat Dunia Maya.
Sekali lagi dengan 20-28 juta penguna, Internet adalah media massa yang paling efisien dan efektif untuk melakukan marketing dan branding baik untuk personal maupun organisasi.

Webpreneurship.
Arah entrepreneurship yang sudah kita pupuk sebelumnya, mungkin bisa dikembangkan ke arah technopreneurship, khususnya webpreneurship. Organisasi pergerakan mahasiswa bisa membangun lini bisnis yang memikirkan berbagai bisnis model yang menarik, dan dari sinilah operasional organisasi dibiayai. Kemandirian finansial ini adalah teladan yang baik bagi masyarakat, membuat teriakan lantang kita tentang pembebasan kemiskinan dan kemandirian bangsa menjadi bermakna. Mengemis dana dari para pejabat, mentri maupun institusi pemerintah atau swasta, sebenarnya membuat rantai ikatan yang mengakibatkan organisasi kita tidak independen lagi. Pada saat memimpin PPI Jepang, saya juga berkonsentrasi ke kerjasama bisnis dengan berbagai perusahaan penerbangan, perusahaan telepon seluler dan bahkan perusahaan elektronik yang punya pasar ke Indonesia.
Tebar Pengaruh Lewat Tulisan di Blog. Lanjutkan influence tactic yang sudah kita lakukan di media massa cetak, ke arah blogging di Internet. Bahkan ketika objek yang kita bidik adalah pelajar di level SMA dan kebawah, gunakan layanan social networking semacam Friendster yang pengguna di level itu sangat besar. Ingat, Indonesia pengguna Friendster nomor tiga sedunia.
Fokus di Core Competence. Ini yang mahasiswa kita sering lupakan. Jurusan yang kita pilih di kampus seolah-olah bagaikan bidang garapan sampingan. Jurusan computing yang kita pilih, tidak membuat kita fasih berbicara tentang statistik pornografi di Internet ketika kita beraudiensi tentang RUU Antipornografi. Jurusan ilmu kehutanan yang kita geluti, juga seolah-olah tidak bermakna karena kita malah mengkritik sisi lain, ketika berteriak lantang tentang masalah kerusakan hutan kita, penebangan hutan yang liar atau monopoli pemanfaatan hutan oleh perusahaan. Jurusan sosial politik yang kita geluti, juga kadang tidak membuat kita fasih berbicara tentang teoritika dan strategi politik atau komparasi sistem politik kita dengan negara lain. Wahai aktifis mahasiswa, konsisten di kompetensi inti adalah jalan yang luruk, bijak dan bertanggungjawab. Jangan pernah mengatakan hal yang tidak kita kuasai permasalahannya, karena itu membuat kita dan segala sesuatu yang kita sampaikan terasa hampa.
Leadership di Komunitas Maya. Buktikan bahwa leadership kita di dunia nyata juga terbukti di dunia maya. Bangun komunitas, pimpin pergerakan komunitas maya, sebagai penambah dukungan pergerakan kita di dunia nyata.
Terakhir, tiga pesan saya untuk para aktifis pergerakan mahasiswa.

Perdjoeangan yang mahasiswa lakukan adalah untuk memberi manfaat bagi rakyat.
Semua itu bukan bertujuan untuk jalan kita menuju senayan (menjadi anggota DPR), jalan kita menjadi pejabat, jalan kita mendapatkan uang secara instan, atau jalan-jalan berpamrih lain yang membuat kita tidak ikhlash
Ucapan menjadi bermakna ketika kita juga bergerak melakukan perubahan dan memberi contoh yang nyata.Think globally but act locally.
Kembalikan perdjoeangan ke karakter dan kredo mahasiswa yang sebenarnya.
Mahasiswa adalah akademisi, pemikir muda, intelektual muda, entrepreneur muda dan agen perubahan bangsa. Baca kembali dengan detail semua visi, misi dan kredo organisasi pergerakan mahasiswa kita, pasti selalu menyebut masalah intelektualitas, jiwa pemikir dan kekuatan akademik lain. Karena itulah akar dan dasar kita bergerak.

PEMUDA DI ERA DEMOKRASI


Melihat kembali sejarah tentang berdirinya negara kesatuan republik indonesia, memaparkan catatan-catatan optimistik para pahlawan dalam menggapai suatu kemerdekaan, merupakan tumpuan dan dorongan serta semangat pada bangsa dan negara ini untuk bangkit dan membangun kembali rasa persatuan, rasa kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan yang menjadi landasan awal perjuangan kemerdekaan. Negara yang kecil tapi mampu menjadi besar hanya karena semangat untuk bangkit dari keterpurukan, keluar dari penjajahan dan menggapai yang namanya kemerdekaan. Jika melihat apa yang dimiliki negara ini sekarang dengan teknologi canggih, orang-orang cerdas dan berpendidikan tapi mengapa kita mesti terpuruk, kurang apa negara kita sekarang ? apa yang salah dengan negara ini, Dibandingkan dengan tahun 1945 negara kita dalam merebut kemerdekaan hanya dengan bambu runcing dan semangat untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik..kenapa kita tidak bisa menjadi lebih baik dari hari ini…. Merdeka, merdeka, merdeka...katanya”
Dan tak lepas dari sejarah, bahwa pemuda-pemuda yang penuh semangat dan idealis yang menjadi pelopor kemerdekaan bangsa indonesia yang melakukan perubahan dan melepaskan negara ini dari penjajahan.
Namun di era globalisasi ini, krisis intelektual pemuda benar-benar memperhatinkan. Kebiasaan mengembangkan tradisi intelektualitas khususnya di lingkkungan organisasi-organisasi social juga tidak terlihat secara signifikan. Kekuatan intelektualitas diri yang memuat intigritas dan kemandirian dalam mengembangkan potensi pemuda masih sangat jauh dari catatan pemuda pada zaman kemerdekaan. Meskipun kekuatan intelektual merupakan modal penting merespon dinamika perkembangan zaman, namun pemuda di era demokrasi justru lebih pragmatism tekhnis. Faktanya, pradigma perjuangan pemuda dan mahasiswa saat ini selalu dilatar belakangi oleh kepentingan-kepentingan seperti ; kepentingan ekonomi, prestise sosial dan mengejar status sosial berupa jabatan-jabatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini telah mencoreng semangat idialisme perjuangan yang selama ini melekat pada diri pemuda dan mahasiswa.
Pergeseran nilai-nilai perjuangan yang menonjol khususnya di dalam konteks menciptakan tradisi intelektualitas pemuda di berbagai level antara generasi masa pra kemerdekaan dan paska kemerdekaan hingga awal era reformasi. Generasi pemuda tempo dulu lebih mengedepankan semangat idialisme intelektual sedangkan generasi masa reformasi lebih mengedepankan kepentingan matrialisme. Maka nilai-nilai perjuangan sosial kemanusiaan generasi tua jauh lebih bermakna, manakala berhadapan dengan ancaman kepentingan nasional. Sementara gerakan intelektual pinggiran generasi masa kini, disadari atau tidak, krisis intelektual pemuda tidak bisa di hindari. Fakta ini lebih disebabkan karena anggapan dan peluang struktur politik nasional yang tidak memungkinkan pemuda untuk memperoleh kesempatan dalam mengasah profesionalisme intelektualitas mereka.
Dengan latar belakang tersebut, maka pemuda sebagai aset perjuangan bangsa dan sebagai pilar kekuatan transformasi idiologi kebangsaan akan memainkan peran dan partisipasi politik secara nyata dan sebagai upaya untuk mengatasi krisis intelektualitas pemuda, maka diperlukan kesadaran politik bersama baik ditingkat elit politik nasional maupun elit politik didaerah sebagai pelaku kebijakan politik, agar tercipta sistem sosial yang akan memicu pola perjuangan fisik serta mengoptimalkan potensi pemuda sebagai aset masa depan bangsa dalam memanfaatkan momentum tertntu untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pemuda sebagai bagian penting di dalam sebuah demokrasi. Pemuda sebagai kontrol sosial terhadap suatu demokrasi. Pemuda di indonesia harus mampu memegang peran strategis dengan kekuatan kelembagaannya yang ada dalam rangka memaknai nilai-nilai idiologi perjuangan berdasarkan nilai-nilai idialisme kebangsaan yang terinspirasikan oleh falsafah pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Dan untuk lebih mengoptimalkan peran pemuda menuju era demokrasi diperlukan gagasan dan kebijakan politik dalam mendukung generasi muda di era demokrasi ini :
1. Memanfaatkan momentum demokrasi sebagai proses transformasi idiologi pemuda indonesia.
2. Konsulidasi antara sesama institusi demokrasi kepemudaan.
3. Mempersiapkan kader-kader pemuda intelektual dalam demokrasi.
4. Pejuang muda harus berorientasi perjuangan untuk kepentingan rakyat umum bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
5. Mengoptimalkan potensi diri sebagai kaum intelektual dan aktif memainkan peran politik bagi rakyat secara sehat.